Jurnal 6
Manado – Perkembangan teknologi di era globalisasi saat ini dikhawatirkan
berdampak terhadap budaya masyarakat
Minahasa yang semakin hari kian tergerus
khususnya di kalangan kalangan generasi
muda.
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris komisi 4 DPRD Sulut yang juga dikenal pegiat budaya Minahasa Fanny
Legoh yang memprediksi 10 tahun kedepan budaya kita (Minahasa) akan hilang
bilamana hal tersebut tidak diantisipasi.
“Kita tahu bersama bahasa dan adat istiadat sekarang sudah
sangat kaku dibahasakan di daerah kita,
bahkan justru bahasa ‘gaul’ menjadi santapan bicara setiap hari, kan aneh kata
salam ‘Tabea’ sudah hampir punah bahkan budaya mapalus sudah sangat jarang terlihat lagi dan lebih dari pada itu saling
menghargai ke umur yang lebih tua seakan habis dan hilang, “ kata Legoh.
Lanjut Legoh seharusnya budaya daerah terus dilestarikan karena hal tersebut merupakan
identitas diri sebagai Tou Minahasa, disamping itu budaya juga memiliki
peran penting sebagai perekat masyarakat dalam satu etnis untuk bersama-sama membangun
bangsa dan negara ini.
“ Tak hanya terbatas
soal budaya Minahasa, kita juga menaruh perhatian serius terhadap pelestarian
budaya Tiga etnis besar di Sulut, yakni Mongondow, Minahasa dan Nusa Utara
(Sangihe, Sitaro dan Talaud), “ ujarnya
Permasalahan ini menurut ketua Badan kehormatan (BK) DPRD Sulut ini tidak semata-mata hanya tanggung jawab pemerintah namun dirinya meminta semua elemen masyarakat di daerah ini terutama para tokoh adat, tokoh agama, pemerhati budaya untuk dapat bersama-sama memasifkan kampanye pelestarian budaya bagi semua etnis yang mendiami wilayah Sulut.
Disamping itu yang paling penting menurutnya pemimpin disetiap Desa dan Kelurahan seharusnya memberikan perhatian besar terhadap pelestarian budaya di wilayahnya karena hal itu menjadi jati diri masyarakat etnis itu.
“Saya perlu tegaskan bahwa pemimpin yang tidak mencintai dan melestarikan budaya, itu sama dengan tidak beradab,” tegas Legoh.
Lanjut legoh, pelestarian budaya di daerah sudah sangat mendesak dilakukan, tidak saja karena alasan ancaman degradasi oleh budaya dari luar, melainkan budaya ini adalah sumber penghidupan.
“Sudah banyak contoh, ada daerah yang warganya kreatif mengelolah budayanya menjadi sumber penghasilan. Makanya budaya dan adat istiadat kita bisa kita berdayakan, untuk itu perlu adanya Peraturan daerah sebagai benteng dan payung hukum terhadap upaya pelestarian budaya, dimana di dalamnya mengatur banyak hal, termasuk hubungannya dengan ajaran agama, yang terkadang bertentangan. “ pungkasnya. (stem)
No Responses