PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE

Manado1025 Dilihat

Oleh: Prof. Dr. Ir. Rene Charles Kepel, DEA

Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan darat dan laut yang mempunyai multi fungsi, yaitu selain sebagai sumberdaya potensial bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga merupakan pelindung pantai dari hempasan ombak.

Oleh karena itu dalam usaha pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat.

Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu 1) Faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan, dan 2) Faktor alam, seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil.

Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan, antara lain 1) Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah, 2) Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang, 3) Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove, dan 4) Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional. 

Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan pertumbuhan penduduk dan yang dari luar sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda.

Di beberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia.

Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain 1) Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove, 2) Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat sebagai bagian dari ekosistem mangrove, dan 3) Pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.

Beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya, adalah 1) Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali, 2) Permasalahan tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan, 3) Konversi hutan mangrove, 4) Permasalahan sosial ekonomi, dan 5) Permasalahan kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan.

Ekosistem mangrove di Daerah Perlindungan Laut (DPL), Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, 13 Mei 2017 (koleksi pribadi)

Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi.  Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami.

Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian, usaha restorasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri.

Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara langsung.

Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekositem homeastatis telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh berbagai sebab.

Secara umum, semua habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun, jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.

Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu, habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan mangrove. 

Terdapat tiga parameter lingkungan yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu 1) Pasokan air tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolic dari ekosistem hutan mangrove.

Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer, dan 2) Pasokan nutrient, dimana pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan makanan berbasis detritus (detrital food web).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *