Manado, Jurnal6.com
SULAWESI UTARA menjadi pintu gerbang Indonesia di Asia Pasifik. Selain didukung letak geografis yang strategis, Sulut sudah memiliki infrastruktur, sumber daya alam, sumber daya manusia yang mendukung, dan pengusaha yang berminat berinvestasi di tanah Nyiur Melambai itu.
Jika ada dukungan pusat yang lebih signifikan lagi, Sulut akan segera menjadi pintu gerbang Indonesia ke Asia Pasifik.
Demikian diungkapkan Rektor Unsrat, Prof Dr Ir Alexander Berty Oktovian Sompie MEng IPU dalam kegiatan Seminar Nasional yang mengambil tema Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah Bagi Pulau-Pulau Terluar di Sulut Dalam Mendukung Pasifik Elevation pada Rabu (25/9/2024) sore di aula FISIP Unsrat.
Dia mengungkapkan, Unsrat memberi perhatian khusus pada isu-isu perbatasan dan Kepasifikan. “Selain punya mata kuliah penciri Kepasifikan, kita punya Pusat Studi ASEAN. Ini jadi wujud komitmen Unsrat memberi kontribusi bagi Sulut dan Indonesia,” kata Prof Sompie yang didampingi Ketua LPPM, Prof Dr Ir Jefrey Kindangen DEA dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Dr Ferry Liando.
Ketua Pusat Studi ASEAN LPPM Unsrat, Dr Michael Mamentu yang juga pemateri dalam seminar ini mengatakan, Pasifik menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan geopolitik dunia saat ini.
“Sehingga secara langsung mempengaruhi pengaruh Sulut dalam pengembangan daerah di berbagai bidang. Ekonomi, sosial dan politik menjadi berdampak menuju kesejahteraan bersama jika posisi ini dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah dan masyarakat Sulut,” jelasnya.
Sementara itu wakil gubernur Sulawesi Utara, Drs Steven Kandouw yang juga sebagai Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) di hadapan para mahasiswa yang menjadi pembicara kedua setelah Diplomat Ahli Madya, Andre Omer Siregar MBA, menjelaskan, sejumlah negara G7 yang memiliki GDP terbesar dunia ada di kawasan ini, di antaranya, AS, Tiongkok, Jepang dan Australia.
“Belum lagi dari sisi demogafri, penduduk terbanyak dunia di Pasifik. Barangkali sudah dua pertiga populasi. Kemudian aspek luas wilayah,” jelas Kandouw.
Bicara konteks Sulawesi Utara di Pasifik, Kandouw bilang, sudah sekitar seabad lalu, Sam Ratulangi mengungkapkan kedudukan strategis wilayah ini. Itu secara perlahan-lahan mulai diwujudkan oleh pemerintahan yang ada dalam rentang 10 tahun terakhir.
Berbagai kendala regulasi, birokrasi dan faktor lainnya berhasil diterobos untuk mewujudkan Sulawesi Utara jadi simpul ekonomi di utara Indonesia sekaligus pintu di Pasifik.
“Sekarang sudah ada penerbangan langsung ke beberapa kota di Tiongkok dan Kota Kinabalux Malaysia, menyusul Singapura dan Tokyo yang sudah duluan,” katanya.
Begitu pula dari sisi kargo pelayanan, perusahaan Tiongkok SITC Container Line melayani ekspor langsung ke Negeri Tirai Bambu dari Bitung sebulan sekali.
Meskipun demikian, terkait dengan itu SK tak menampik pengelolaan wilayah perbatasan Sulawesi Utara ‘gampang-gampang susah’. Ibarat mata uang yang punya dua sisi.
Perbatasan punya potensi besar karena masyarakat setempat bisa melakukan perdagangan langsung.
“Asas manfaatnya, penduduk di Kepulauan Nusa Utara bisa berdagang langsung ke Filipina bahkan Malaysia,” katanya.
Di sisi lain, perbatasan punya potensi ancaman. Baik dari sisi ekonomi, sosial dan hankam. “Perbatasan laut kita yang terbuka rawan praktik penyeludupan. Baik barang ilegal, narkoba, human trafickking dan senjata api,” jelasnya lagi.
Dengan seminar ini, diinventarisir peluang dan tantangan terkait kepulauan wilayah perbatasan Sulawesi Utara sekaligus menghasilkan rekomendasi bagi dunia kampus maupun pihak luar. (Lla*)








